Melihat layar kaca dengan berita menyedihkan seputar kekerasan
terhadap anak, aku lalu merenung dan mempertanyakan, sejauh mana
terealisasi nilai cinta kasih dari orang tua terhadap anak. Sudah
lunturkah kasih sayang orang tua sehingga begitu tega menyiksa anak yang
merupakan buah perpaduan darah dan dagingnya sendiri?
Pada belakangan ini keluarga menjadi sorotan publik karena sebagian
keluarga, tempat berteduh paling aman bagi anak, ternoda oleh ulah
beberapa orang tua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Oleh
kekerasan yang terus merasuk ke dalam sum-sum keluarga maka untuk
sementara, anak-anak yang menjadi korban kekerasan memandang keluarga
sebagai "dapur peleburan" dirinya dan pelampiasan kekerasan orang tua.
Peristiwa tragis ini menjadi momentum refleksi untuk keluarga lain
tentang keberadaan keluarga dengan orang tua sebagai nahkodanya. Ketika
membangun keluarga, suasana pasangan suami-isteri diliputi oleh perasaan
cinta dan kasih sayang, sekaligus merindukan kehadiran seorang anak
untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga. Kerinduan akan anak seperti
yang diharapkan oleh pasangan saat awal membangun rumah tangga tidak
dilihat sebagai pelengkap (barang komplementer) tetapi lebih dari itu
kehadiran anak merupakan tanda perpaduan cinta dan tempat mereka
mencurahkan kasih sayang.
Melihat kondisi keluarga yang kehilangan arah maka perlu adanya
pemaknaan kembali keluarga secara holistik. Dalam arti yang paling
sederhana, keluarga dimengerti sebagai sel terkecil dalam masyarakat
tetapi memiliki peranan yang urgen dalam menentukan keberlangsungan
hidup sebuah masyarakat. Definisi sederhana ini secara tersirat
mengungkapkan peranan besar keluarga dalam memberi arti masyarakat
sebagai komunitas yang paling besar di sebuah wilayah. Kehadiran
keluarga tidak dapat digantikan oleh pranata lain sebagai yang menjiwai
keberlangsungan hidup masyarakat.
Dalam arti religius, keluarga juga dapat dipahami sebagai basis
terkecil dalam lingkup Gereja yang merupakan titipan Allah, sekaligus
tempat Ia mempercayakan orang tua untuk menumbuhkembangkan anak secara
paripurna. Di sini, keluarga saya mengerti secara mendalam sebagai
"Kerajaan Allah" yang menetap di bumi, di mana adanya persatuan yang
mesra antara para anggotanya. Persatuan yang mesra dapat terjalin baik,
mengandaikan masing-masing anggota keluarga untuk keluar dari dirinya
dan menjumpai "aku-nya" yang lain. Dengan adanya keberanian untuk keluar
dari diri berarti kita disanggupkan untuk memerangi egoisme dan
sekaligus mematangkan emosionalitas serta menerima orang lain sebagai
yang terberi.
Tentang kerajaan Allah, aku teringat akan sebuah cerita yang
mengisahkan kehidupan para penghuni kerajaan Allah. Di kisahkan bahwa di
kerajaan Allah tersedia banyak makanan yang lezat tetapi anehnya, orang
yang pertama kali masuk ke dalam ruang makan belum bisa menikmati
makanan tersebut. Untuk bisa menikmati makanan itu dibutuhkan orang lain
agar menyuapnya karena masing-masing penghuni kerajaan Allah tidak
mempunyai "siku dan pergelangan tangan." Oleh kondisi tangan yang
dimiliki masing-masing penghuni ini menuntut suatu kesadaran penuh yang
lahir dari diri dan orang lain. Artinya bahwa dalam diri masing-masing
orang terbangun sikap peduli dan berbela rasa dengan orang lain yang
merupakan partner dalam hidupnya. Demikian juga orang lain, perlu
memupuk rasa toleran terhadap sahabat sekomunitas.
Menyimak cerita sederhana di atas, menyiratkan beberapa pesan
mendalam terutama bagi keluarga yang pada belakangan ini menjadi sorotan
publik berkenaan dengan peristiwa kekerasan. Pertama, kehidupan anggota
kerajaan Allah menunjukkan relasi yang kental dengan menampilkan cinta
kasih. Tidak ada kekerasan yang bersemi dalam komunitas ini karena
masing-masing mereka telah membangun komitmen komunitas untuk tetap
setia pada kesejatian persahabatan. Kedua, adanya nilai kerinduan akan
kehadiran yang lain dalam hidupnya seperti yang tercermin dalam pola
pelayanan secara proporsional. Merindukan kehadiran yang lain menjadi
sebuah kerinduan abadi bagi setiap orang yang menghuni komunitas itu.
Persaudaraan yang dibangun oleh komunitas di atas tidak dilandasi
oleh ikatan darah dan perkawinan. Tetapi mengapa hubungan persaudaraan
mereka menjadi langgeng? Mengapa di antara mereka begitu gampang
terwujudnya komunikasi cinta dan persahabatan? Jawaban yang paling jelas
yaitu Allah sebagai sumber cinta kasih dijadikan sebagai patokan dalam
jejak langkah hidup mereka. Masing-masing mereka memahami pribadi yang
transenden itu dan menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam hidup mereka. Allah dijadikan sebagai contoh dan tempat bagi
mereka untuk membaca seluruh tata aturan tentang bagaimana mencintai
orang lain. Mencintai orang lain merupakan suatu hal yang sulit. Tetapi
dalam pribadi Allah, mereka berani untuk bertanya tentang kiat-kiat
memahami dan mencintai orang lain, yang salah satunya adalah melawan
egoisme diri.
Problem utama yang dihadapi oleh keluarga yang menindak keras
anaknya adalah tidak mau mencari solusi yang tepat untuk mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi, seperti masalah ekonomi. Orang tua
terlalu menutup diri dengan "sarung egoisme" untuk tidak mau
membicarakan persoalan yang mereka hadapi dan mencari solusinya. Karena
lingkup egoisme terlalu kuat melilit sang ibu maka anaknya sendiri tidak
lagi dipandang sebagai bagian dari dirinya yang dibentuk oleh perpaduan
darah dan daging. Egoisme menutup mata hatinya untuk tidak lagi melihat
keluarga sebagai tempat berseminya nilai-nilai cinta kasih. Kasih sang
ibu tidak lagi seluas lautan seperti yang didengungkan selama ini. Kasih
sang ibu mungkin telah tenggelam di dasar lautan egoisme.
Untuk memerangi egoisme yang mengarah pada kekerasan, perlu adanya
figur yang patut dijadikan contoh, yakni Allah sendiri sebagai sumber
cinta semesta. Allah, yang dulunya dijadikan oleh komunitas kerajaan
Allah sebagai pemberi inspirasi cinta, Allah yang sama senantiasa
menyertai keluarga dengan kelembutan kasih abadi. Untuk memaknai
kehadiran Allah sebagai sumber cinta dalam keluarga, perlu adanya
penyadaran diri akan sumber yang memberi cinta kasih. Sumber itulah yang
menopang hidup keluarga saat mengalami suka maupun duka. Pengalaman
tragis yang pernah menimpah beberapa keluarga, dapat dijadikan sebagai
buah refleksi yang paling pahit. Oleh peristiwa ini, beberapa anak harus
beralih dari keluarga karena trauma yang berkepanjangan. Dapatkah
mereka yang telah menjadi korban terangkul kembali dalam dekapan
keluarga?
Agaknya terlalu sulit untuk memasukkan kembali anak yang menjadi
korban kekerasan orang tua. Lintang Syahputra misalnya, terpaksa harus
mengecap kasih sayang dari neneknya karena bapak dan ibunya tak bisa
diharapkan untuk memeliharanya. Keluarga karenanya, menjadi sebuah
"terminal singgahan" yang tidak aman bagi anak-anak. Terhadap seluruh
problem yang menimpah keluarga ini, menuntut kita untuk bertanggung
jawab penuh terhadap keutuhan keluarga lain. Tanggung jawab lintas
keluarga juga merupakan ungkapan kepedulian terhadap yang lain. Kalau
tanggung jawab lintas keluarga ini berjalan secara normal maka cepat
atau lambat solidaritas keluarga tercipta lagi, mirip komunitas kerajaan
Allah seperti dalam cerita di atas.
0 komentar:
Posting Komentar